Kamis, 16 Juli 2015

"PANTAI KOWANG & WATU BALE PACITAN" Tetangga pantai Soge ini makin lengkap dengan keindahan batuan lepas pantainya. [Desa Jetak - Kecamatan Tulakan]



gambar foto pantai kowang ujung-timur
PANTAI KOWANG PACITAN (Jetak - Tulakan)


Pantai Kowang adalah salah satu pantai di Pacitan yang akhir-akhir ini mulai di kenal. Selain keindahanya, pantai Kowang juga merupakan pantai yang berada di dekat akses Jalur Lintas Selatan atau (JLS). Lokasinya dekat dengan Pantai Soge, tepatnya di sebelah baratnya.

Pantai Kowang berada di Desa Jetak Kecamatan Tulakan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pantai ini cukup mudah ditemukan melalui akses jalan JLS arah Pacitan-Trenggalek. Lokasinya berada di sebelah barat Pantai soge yang lebih dulu terkenal. Kalau dari arah Pacitan kota jalan masuk Pantai Kowang berada di Kanan Jalan (ada papan nama). Ikuti jalur utama jalan rabat menurun maka akan berakhir di pantai kowang tersebut.

pantai kowang watu-bale

Pertama sampai di atas bukit, anda akan disambut ombak khas Pantai selatan Jawa. Sulitnya usaha saat menakhlukan jalan saat turun keluar dari JLS akan terbayar lunas saat menyaksikan keindahan Pantai ini. Di situ terlihat tumpukan-tumpukan batu pemecah ombak yang bisa anda gunakan duduk melepas lelah. Ombak yang menghantam bebatuan kadang membawa percikan-percikan air, sehingga membuat udara menjadi lebih sejuk ditambah angin yang berhembus kencang.

Tak puas disitu, pantai ini masih punya sisi lain yang memiliki beragam keunikan. Anda bisa telusuri jalan ke arah barat yang baru di buka warga sekitar, jalan itu merupakan salah satu akses menuju lokasi "Watu Bale". Watu bale ini merupakan batuan karang lepas pantai yang berbentuk unik. Batunya cukup lebar dengan permukaan diatasnya datar seperti lantai yang lebar (mirip sebuah meja atau dipan atau mungkin ada pula yang beranggapan mirip sebuah kapal)

pantai kowang ujung-barat pantai kowang jalan-dibuat
pantai kowang dari-tebing.jpg pantai kowang bagian -tengah

Watu bale tersebut bisa anda saksikan dari sebuah tebing karang disebelah barat Pantai Kowang. Pinggiran tebing ini cukup curam dengan air laut membiru dibawahnya, sehingga pengunjung dilarang berdiri atau duduk-duduk di sekitar ujung-ujung tebing batu tersebut.

Saat kita berdiri di atas tebing ini sambil melihat lepas pantai, rasanya seperti berada di sebuah pulau kecil yang dikelilingi perairan. Tebingnya hijau mengembung membentuk sebuah bukit ditumbuhi rumput dan tetumbuhan kecil lainya. Sedangkan pemandangan sebelah barat, disana tampak Pantai Pidakan dari kejauhan. Tapi pemandangan jadi lain saat kita menghadap ke belakang pantai. Disana terlihat Tebing-tebing dan perbukitan tinggi yang memagari pantai tersebut.

pantai kowang atas-tebing pantai kowang adv2
pantai kowang adv1-jetak-tulakan.jpg pantai kowang adv-watu-bale

Sayangnya di pantai ini tidak cocok buat anda yang suka bermain air. Karna lokasi pasir pantainya bisa dibilang tidak ada. Hanya bebatuan yang kadang-kadang tersapu ombak. Dan juga belum dibangunya sarana fasilitas pengunjung untuk saat ini yang jadi kendala. Tapi jangan khawatir karna kendaraan sudah bisa sampai di bibir pantai terutama roda 2, dan sekaligus memarkirkan kendaraan anda disitu. Jadi jangan lupa kunjungi pantai ini saat anda melintasi JLS Pacitan..

pantai kowang ujung-timur

Selasa, 14 Juli 2015

"UPACARA ADAT MANTU KUCING PACITAN" Upacara ritual permohonan di turunkan hujan. [Desa Purworejo - Kecamatan Pacitan]



Mantu kucing pacitan
UPACARA MANTU KUCING DESA PURWOREJO PACITAN

Upacara adat sebagai bagian dari kebudayaan tradisional warga desa juga dimiliki oleh warga desa Purworejo Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan Jawa Timur, yaitu upacara adat keagamaan yang bernama “Mantu Kucing” dimana upacara ini dilaksanakan warga dalam rangka meminta kepada Sang Maha Pencipta supaya diturunkan hujan.

A. SEJARAH UPACARA ADAT MANTU KUCING

Upacara adat mantu kucing merupakan upacara adat untuk memohon kepada Tuhan Ynag Maha Esa agar menurunkan hujan di daerah orang-orang yang mengadakan upacara tersebut. Upacara ini dilaksanakan bila tiba musim kemarau yang berkepanjangan dan berdampak negatif terhadap warga masyarakat yang masih agraris.

Upacara adat ini diangkat dari tradisi masyarakat desa Purworejo. Desa Purworejo merupakan salah satu desa di Kota Pacitan yang terletak kurang lebih 3 Km dari pusat kota. Desa ini termasuk dalam Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Kondisi wilayahnya didominasi persawahan dan bukit serta beberapa aliran sungai sebagai anak sungai Grindulu, sungai terbesar di Kabupaten Pacitan seharusnya menjadikan desa ini tidak kekeringan. Namun pada kenyataannya hampir setiap tahun desa ini mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang.

Kondisi ini yang membuahkan sebuah tradisi adat sebagai prosesi untuk meminta hujan kepada Sang Maha Pencipta, yaitu upacara adat Mantu Kucing yang berawal dari kejadian masa silam (tidak disebutkan tahun kejadiannya) dikisahkan seorang warga desa yang memperoleh “wisik” (petunjuk dari Alloh) agar turun hujan, maka mereka harus melaksanakan upacara mantu kucing. Waktu itu para sesepuh desa segera mengadakan musyawarah untuk melaksanakan upacara mantu kucing, sebagai bukti kepercayaan dan kepatuhan mereka terhadap Sang Maha Pencipta sesuai wisik yang diperoleh.

Upacara ini menyerupai upacara adat di Yunani purba, yakni sewaktu kemarau panjang rakyatnya mengadakan upacara menyembelih kambing jantan (tragos) agar dewa Zeus berkenan menurunkan hujan di daerah yang dilanda kemarau panjang.

Sekalipun yang dinikahkan hanya hewan kucing, masyarakat Pacitan menyebut dua ekor kucing yang dinikahkan itu dengan istilah pengantin (manten, dalam bahasa Jawa) dan sampai saat ini upacara Mantu Kucing masih rutin dilakukan oleh warga desa Purworejo ketika musim kemarau panjang melanda desa mereka.

mantu kucing warga purworejo pacitan

B. KRONOLOGIS UPACARA ADAT MANTU KUCING

Upacara mantu kucing ini ditradisikan di desa Purworejo Kabupaten Pacitan dalam suatu kegiatan untuk meminta hujan kepada Tuhan pencipta langit dan bumi. Upacara ini diadakan bila wilayah tersebut dilanda musim kemarau yang berkepanjangan Mantu kucing tiada ubahnya seperti orang mengadakan upacara pernikahan dua anak manusia. Hanya khusus dalam keperluan ini yang dinikahkan adalah dua ekor kucing dan tidak didudukkan di kursi pelaminan melainkan di dalam tandu, namun demikian pengantin juga dihias walaupun hanya dipakaikan mahkota dari janur kuning. Selain itu kedua mempelai juga tidak mengucapkan ijab qobul sendiri melainkan diwakili oleh masing-masing kepala desa dimana kucing yang dinikahkan berasal.

Kucing betina berasal dari desa Purworejo dan kucing jantan diambil dari desa tetangga yang bersebelahan dengan desa Purworejo yakni desa Arjowinangun, yang terletak tepat di sebelah barat desa Purworejo. Upacara ini secara tradisional diadakan ditepi sebuah aliran sungai tempat kucing betina yang dinikahkan dipelihara, menurut tetua warga desa hal ini dimaksudkan supaya sungai yang berada didekat tempat upacara itu segera dialiri air yang berasal dari air hujan sebagai hasil dari permohonan mereka melalui upacara ini sebagaimana yang mereka percaya.

mantu kucing pacitan jawa timur

Tata urutan upacara ini adalah:

1. Pada hari yang telah ditetapkan, pengantin perempuan dinaikkan tandu, diarak dan dibawa ke tempat upacara pernikahan.
Tempat yang dimaksud berada di batas desa asal kucing betina dan dipilih di tepi sungai. Di tempat inilah calon pengantin perempuan (kucing betina) menanti kedatangan calon pengantin laki-laki (kucing jantan) yang berasal dari desa Arjowinangun.

2. Upacara Temu Manten.
Setelah penganten laki-laki datang di tempat tersebut diadakan upacara temu penganten. Penganten laki-laki diarak dengan pengiring yang membawa sesaji dan seperangkat barang sasrahan (barang yang diserahterimakan atau biasa disebut mahar) dari pihak besan laki-laki kepada besan pihak perempuan. Mahar dalam perkawinan kucing ini biasanya berupa pedaringan (dalam bahasa Jawa disebut genthong) yaitu sebuah wadah terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk tandon air, menurut warga desa hal ini mengisyaratkan warga sudah siap menadah hujan yang turun dengan menggunakan tandon tersebut.
Dalam upaca serah terima ini pengantin laki-laki (kucing jantan) diwakili oleh seorang wanita (ibu kepala desa Arjowinangun). Pihak penerima adalah wakil pengantin perempuan yang diwakili oleh seorang bapak (kepala desa Purworejo). Temu penganten itu disebut jemuk Setelah upacara serah terima penganten laki-laki dan perempuan didudukkan bersanding di dalam tandu penganten perempuan kemudian kedua penganten diarak menuju ke tepi sungai.
Calon mempelai perempuan dipilih kucing betina yang sudah dewasa tapi belum pernah beranak, berbulu coklat halus dan sehat serta asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon mempelai laki-laki dipilih kucing jantan yang sudah dewasa dan diperkirakan belum pernah bersama kucing betina, berbulu coklat halus dan sehat serta dipelihara di desa Arjowinangun.

3. Upacara Memandikan Penganten.
Sebagaimana pengantin manusia, pengantin kucing ini juga dimandikan untuk mensucikan diri sebelum memasuki akad nikah. Di tepi sungai tempat pesta pernikahan berlangsung, kepala desa Purworejo menyerahkan kedua penganten kepada sesepuh desa (dukun yang bernama mbah Dullah). Kakek inilah yang memimpin upacara memandikan pengantin dengan air bunga, sekaligus upacara akad nikah dimana ijab kabulnya diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan diterima oleh sesepuh yang memimpin upacara ini. Kakek sesepuh desa kemudian mengucapkan doa dan mantra, dengan perantaraan dua ekor kucing (sepasang penganten) yang dimandikan, sang Kakek memohon kepada Tuhan agar diturunkan hujan yang berkah.

4. Upacara Ngalap Berkah.
Upacara ngalap berkah berupa selamatan dengan tumpeng nasi kuning. Sesudah dipanjatkan doa, warga masyarakat mengadakan makan bersama yang disebut “kembul bujana punar” artinya secara bergantian warga desa yang ngestreni (menghadiri) mengambil nasi kuning. Tumpeng nasi kuning dipersiapkan pihak penganten perempuan (kepala desa Purworejo)

5. Upacara Penutup - Sungkeman.
Setelah selesai upacara ngalap berkah, rangkaian upacara dilanjutkan dengan sungkeman. Pihak keluarga penganten laki-laki dan perempuan bergantian melakukan sungkeman sebagai tanda akhir upacara mantu kucing. Kakek dukun meminta kepada segenap warga desa yang mengikuti upacara agar dengan segera meninggalkan tempat upacara, menuju kerumah masing-masing karena diyakini setelah itu akan turun hujan yang deras.
Sepasang pengantin kucing yang telah dinikahkan kemudian dibawa pulang oleh kepala desa Purworejo dan dipingit didalam kandang selama 7 hari atau sampai hujan turun dan setelah itu dipelihara biasa selayaknya kucing piaraan.
Upacara adat Mantu kucing menggunakan musik pengiring selawatan yang ritual dan mengacu ke tradisi Khataman nabi.

mantu kucing

Dialog-dialog yang diucapkan dalam upacara adat ini antara lain:

1. Dialog pasrah pihak penganten perempuan yang diucapkan oleh kepala desa Purworejo, ditujukan kepada pihak penganten laki- laki (kepala desa Arjowinangun).

2. Dialog penampi (penerimaan) yang diucapkan oleh pihak penganten laki-laki (kepala desa Arjowinangun) ditujukan kepada kepala desa Purworejo.

3. Dialog pasrah pihak penganten (kepala desa Purworejo) kepada sesepuh desa

4. Ijab Kabul antara kepala desa Purworejo (pihak pengantin laki-laki_ dengan sesepuh desa

5. Monolog sesepuh desa yang memimpin upacara adapt Mantu Kucing disaksikan oleh seluruh warga desa yang menghadiri (mangestreni). Monolog ini berisi rangkaian kata- kata doa/pengucapan mantra-mantra menjelang pelaksanaan kembul bujana punaru sebagai permohonan kepada Sang Maha Pencipta agar diturunkan hujan.

6. Pernyataan sesepuh desa bahwa upacara telah selesai. Begitu upacara selesai segenap warga diminta pulang ke rumah masing-masing dengan segera.

Sumber:
http://ikariba.blog.uns.ac.id

"KESENIAN JARANAN PEGON PACITAN" Kesenian tradisional serupa Kuda Lumping dengan keunikan para pemainya yang kesurupan. [Desa Mangunharjo - Kecamatan Arjosari]



jaranan pegon arjosari pacitan

Tak kalah dengan kesenian lainya di Pacitan. Arjosari, sebuah kecamatan yang juga turut menyumbangkan kesenian tradisional Jawa-nya. Kesenian tersebut biasa di kenal dengan nama "Jaranan Pegon", istilah ini sebenarnya juga dikenal diberbagai wilayah di Jawa timur. Itu artinya bukan hanya Pacitan saja yang memiliki kesenian semacam ini.

Jaranan Pegon merupakan seni tradisional dari Desa Mangunharjo Kecamatan Arjosari Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Kesenian ini dilaksanakan saat warga mempunyai hajatan atau pada saat ada acara upacara peringatan-peringatan tertentu.

Jaranan pegon pacitan

Untuk memulai acara pertunjukkan Jaranan Pegon ini di tampilkan terlebih dahulu penari pegon ( penari yang membawa kuda-kudaan ), biasanya yang memainkan tarian ini adalah para lelaki yang masih berusia muda ( masih usia SMP ). Setelah penari kuda tampil di lanjuttkan penari yang membawa celeng ( membawa duplikat babi ) dan seorang penari yang membawa kepala naga yang terbuat dari kayu dan dengan di iringi oleh gamelan jawa yang sangat khas.

Yang unik dari kesenian tradisional ini, seperti biasanya lama kelamaan kedua penari tersebut terlarut dengan suara gamelan yang mengalun-alun dan akhirnya kedua penari itu kesurupan makhluk halus. Hal demikian sudah dianggap wajar, namun cukup mengherankan bagi sebagian orang yang baru mengenal kesenian tradisional yang satu ini.

Jumat, 10 Juli 2015

"KESENIAN KETHEK OGLENG PACITAN" Sebuah kesenian tari atraktif dengan latar belakang cerita sejarah. [Desa Tokawi - Kecamatan Nawangan]



kethek ogleng pacitan
KESENIAN TARI KETHEK OGLENG PACITAN

Sebenarnya Pacitan memiliki bermacam-macam kesenian dan budaya asli daerah, di antaranya adalah tari Kethek ogleng yang cukup legendaris. Namun sayang kesenian yang satu ini di klaim oleh kabupaten tetangga. Tari kethek ogleng asli berasal dari desa Tokawi, kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan Jawa Timur.

Tari tersebut sudah ada sejak tahun 1963 hasil karya dari seorang petani yang bernama Sutiman dan baru Berumur 18 tahun. Menurut Sutiman kata “Kethek Ogleng’’ diambil dari nama binatang yaitu kera dalam bahasa jawa “KETHEK”, Sedangkan Ogleng diambil dari gamelan yang berbunyi “gleng-gleng”.

Tari Kethek Ogleng pertama kali ada di tempat orang punya hajat perkawinan tepatnya akhir tahun 1963. Pentas tersebut terlaksana atas permintaan Kepala Desa Tokawi pada Waktu itu D.Harjo Prawiro.
Pada akir tahun 1964, Dinas pendidikan dan kebudayaan atas prsetujuan Bupati Pacitan menghimbau kepada sutiman agar dalam tari Kethek Ogleng Tersebut menggunakan cerita panji.

Bertujuan apabila menggunakan unsur cerita agar menjadi lebih baik. Cerita panji dalam versi raden panji yang akan dijodohkan dengan Sekartaji atau Candra kirana. Tari Kethek ogleng memiliki alur cerita , secara utuh terdiri dari 6 tokoh yaitu: Panji Asmoro banguan, Sekartaji, Endang lara Tompe, Punakawan, Banthara Narada dan Wanaraseta.

kesenian kethek ogleng pacitan

Yang di kenal hingga sekarang latar belakang Kesenian ini berawal dari sebuah cerita kerajaan jawa, yaitu kerajaan Jenggala dan kerajaan Kediri yang kemudian dituangkan ke dalam seni gerak tari. Secara turun temurun kesenian ini tetap eksis di kalangan masyarakat desa Tokawi kecamatan Nawangan kabupaten Pacitan, terutama ketika sedang diadakan kegiatan syukuran atau pun pada saat hajatan.

Dalam tarian kethek ogleng, diceritakan bahwa puteri Dewi Sekartaji atau putri dari kerajaan Jenggala menjalin hubungan asmara dengan Panji Asmara Bangun pangeran dari kerajaan Kediri. Hubungan mereka sangat harmonis, karena keduanya saling mencinta dan seolah tidak bisa dipisahkan. Akan tetapi, orang tua mereka tidak sejalan dengan cinta anak-anaknya, ayahanda sang puteri mempunyai kehendak lain, beliau menginginkan puterinya untuk menikah dengan pria pilihannya.
Sang puteri menolak, tetapi ayahnya yang seorang raja bersikeras menginginkan agar anaknya menikah dengan pria pilihannya, sampai akhirnya sang puteri dipaksa untuk menikah dengan pria tersebut. Karena cintanya pada Panji Asmara Bangun dan untuk menghidar dari paksaan ayahnya, sang puteri pun secara diam- diam meniggalkan kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Malam hari sang puteri berangkat dengan diiringi dayang istana menuju kearah barat. Mengetahui sang kekasih pergi meninggalkan kerajaan, kemudian Panji Asmara Bangun pergi untuk mencari sang puteri. Panji Asmara Bangun singgah dirumah seorang sang pendeta dan diberi wejangan. Pergi kearah barat dan menyamar menjadi Kethek (kera). Begitu pula sang puteri yang kebetulan juga menyamar sebagai Endang Roro Tompe (seorang gadis dengan tompel di wajahnya).
Sang Tompe hidup menyendiri di sebuah pondok di hutan. Ia hanya berteman kan binatang liar yang hidup di sekitar hutan. Begitu juga dengan sang Kethek, ia hidup menggelantung dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya di sebuah hutan belantara. Setelah sekian lama, sang Kethek pun bertemu dengan sang Tompe. Awalnya keduanya tidak saling mengenal, akan tetapi lama kelamaan keduanya pun saling mengenal dan menjadi akrab. Karena mereka sudah merasa akrab, akhirnya mereka pun merubah wujudnya seperti semula. Sang Kethek kembali menjadi Panji Asmara Bangun dan sang Tompe pun kembali menjadi Dewi Sekartaji. Ketika mereka sudah kembali ke wujud aslinya, mereka pun kaget ternyata mereka adalah orang yang saling mengenal dan saling mencari bahkan saling mencintai.
Perjumpaan sepasang kekasih tersebut sangat mengharukan. Mereka pun saling melepas rindu, layaknya sepasang kekasih yang lama tidak bertemu. setelah itu mereka kembali ke kerajaan Jenggala untuk meminta restu dan segera menikah.

Yang menarik dari kesenian Kethek ogleng ini, selain penarinya yang cantik juga tariannya yang menggambarkan kehidupan masa silam dan merupakan kisah nyata, sehingga kesenian ini sangat menghibur bagi wisatawan yang berkunjung ke Pacitan, khususnya bagi wisatawan yang senang dengan wisata kebudayaan berupa tari-tarian.

Tari Kethek ogleng biasanya diadakan pada saamasyarakat mengadakan hajatan khususnya masyarakat desa Tokawi kecamatan Nawangan pacitan, tetapi kadang-kadang tarian ini juga dimainkan pada saat diadakannya acara-acara tertentu misalnya untuk mengiringi grup drum band ketika diadakannya karnaval hari jadi kota Pacitan.

kethek ogleng nawangan

Mneurut konsep yang ditulis R.FIRTH menyebutkan 8 fungsi sosial seni yaitu :

1. Sebagai sarana kepuasan batin.
2. Sebagai sarana bersantai dan hiburan.
3. Sebagai sarana ungkapan jati diri.
4. Sebagai sarana integratif dan pemersatu.
5. Sebagai sarana penyembuhan.
6. Sebagai sarana pendidikan.
7. Sebagai sara integrasi pada masa kacau.
8. Sebagai sarana lambang penuh makna dan mengandung kekuatan.

Fungsi tari Kethek Ogleng mengandung dua dimensi yaitu, vertical dan horizontal. Vertical tercemin hubungan antara manusia dengan khaliqnya. Secara horizntal tercemin antara manusia dengan manusia dalam masyarakat menimbulkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan yang didasari rasa saling membantu dan gotong royong.

Berdasarkan penelitian Kesenian Kethek ogleng memiliki beberapa makna sosial diantaranya adalah :

(1) Kesenian Kethek Ogleng tercipta, tumbuh dan berkembang di desa Tokawi kecamatan Nawangan kabupaten Pacitan yang menceriterakan kisah cinta antara Dewi Sekartaji dari Kerajaan Jenggala dan Panji Asmara Bangun dari Kerajaan Kediri pada tahun 1962;

(2) Penyajian kesenian Kethek Ogleng berupa dramatari yang di dalamnya mengandung unsur gerak, iringan, rias, busana, dan tempat pementasan;

(3) Kesenian Kethek Ogleng mengandung nilai-nilai sosial yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat desa Tokawi, seperti kebersamaan, komunikasi, kerohanian, hiburan, kesetiaan, ekonomi, dan pendidikan; dan

(4) Masyarakat berharap agar kesenian Kethek Ogleng di desa Tokawi tetap dipertahankan karena kesenian tersebut merupakan satu-satunya yang ada di desa Tokawi kecamatan Nawangan kabupaten Pacitan. Upaya yang dilakukan dalam mempertahankan keberadaan kesenian tersebut dilakukan dengan memberikan pelatihan pada ekstrakurikuler di sekolah dalam lingkup wilayah desa Tokawi.

ketek ogleng pacitan

Kamis, 09 Juli 2015

"UPACARA ADAT METHIK PARI PACITAN" Sebuah prosesi ritual wujud syukur menyambut hari panen padi yang melimpah. [Desa Jeruk - Kecamatan Bandar]



methik pari bandar pacitan

Di setiap kecamatan di wilayah kabupaten Pacitan memiliki upacara adat atau ritual-ritual yang di adakan minimal setahun sekali. Upacara semacam ini biasanya berupa ritual bersih desa, sedekah bumi dan lain-lain. Salah satunya yang ada di kecamatan Bandar, yaitu yang biasa di kenal dengan istilah "Methik pari".

upacara adat methik pari jeruk bandar pacitan

Upacara adat Methik Pari atau Petik Pari biasa dilakukan oleh masyarakat dari Desa Jeruk yang berada di kawasan puncak pegunungan Kecamatan Bandar Kabupaten Pacitan Jawa Timur yang mayoritas matapencaharian penduduknya adalah bertani.
Upacara adat ini dikenal sudah ada sebelum zaman penjajahan, yaitu pada zaman nenek moyang kita mulai mengenal bercocok tanam khususnya padi.

tarian methik pari bandar pacitan jawa timur

Upacara adat Methik Pari merupakan perwujudan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas pemberian limpahan rejeki berupa panen padi. Upacara ini dilakukan menjelang panen tiba tepatnya sehari sebelum panen raya, dan biasanya dilaksanakan pada malam hari.
Dan pada bagian inti dari Upacara adat ini di juga di tampilkan tarian "methik pari". Hiburan semacam ini biasanya hanya diadakan untuk acara memetik (memanen) padi. Yang juga bertujuan untuk menghormati Dewi Sri dan Joko Sadono.